Pada segmen bahagia

Tak kendor kita berusaha untuk selalu meyakini diri, menguatkan raga dan melatih setiap titah-titih untuk menjadi diri yang kebal akan ketakutan dan yang menjadi terang dalam kesuraman. Setiap kali melangkah, helaan nafas lelah menjadi segmen paling serius dalam cerita perjalanan seseorang memetik buah bahagianya. Namun tak jarang kita temui berita putus asa, gagal hingga bunuh diri. Nahas memang nasib seseorang, tanpa kita juga sadar… mungkin kita selanjutnya bernasib seperti berita-berita di baris tadi pada tulisan segmen bahagia ini.

Kita harus mengingat, besar dan berartinya kita hari ini… atas banyak tangan yang merangkul, banyak mulut yang mengingatkan (mendidik), banyak doa yang terucap, dan hati kita yang terlatih atas segala fase tersulit dan terhimpit yang pernah terlewatkan dengan akhir yang ceria atau (kecewa) terluka.
Pada teman, atau seseorang yang pernah menorehkan simpatik, marah dan hingga menyayat hati ini.. atas dasar apapun itu, hati dan diri ini menyampaikan terimakasih yang terucap dari palung yang menggerakan tangan ini menulis yang belum tentu berarti untuk dimaknai bersama.
Dan hari ini terlatih, meski pada situasi seperti ini, diri ini masih tetap tegar atas tempaan yang dekat dengan putus asa dan terjangan yang membujuknya bunuh diri.

Tekad akan bahagia, dan mental berhadapan dengan mati juga patah hati harus tertancap dalam-dalam pada laku-lampah langkah seorang yang ingin bahagia bersama-sama.

Bogor, februari 2021

Jangan menunggu ini selesai

Hari senin pagi.. tak ada alarm jam, tak ada sarapan pagi. Semua murung dan bertanya pada langit “Tuan disinggah sana…. kapan ini usai???”. Sebagian sudah ada yang mengacung-acungkan parit, cangkul, linggis, pedang, dan segala yang tajam ke arah langit…

Sambil mulutnya mengeluarkan sumpah serapahnya.. semua menggerutu, mungkin bisa bayangkan… jika masih ada che guevara dan bapak Ir. H. soekarno gagal menghisap cerutu.. itu bertanda apa yang terjadi.

Tak henti, meminta agar jangan berhenti

Jalanan ialah kumpulan pelajaran sosiologi, biologi, fisika, ekonomi, kimia, politik, filsafat, matematika dll. Yang nanti dibukukan dalam pelajaran sejarah.

Kita tak banyak memiliki waktu, dalam sehari hanya 24 jam. Dalam sehari hanya banyak (mata) terpejam, penjahat itu diri kita yang baik, yang diam atas tindakan yang menabrak nilai, aturan kesepakatan.

Gerombolan sehat mengajak tanpa henti dan tanpa target berapa banyak yang akan selamat dalam kewarasannya. Gerombolan yang sedikit sakit, sebenernya menunggu tanpa mengajak. Tanpa sengaja mereka jadi berkumpul. Contohnya, di senayan, di gedung, di tempat pembayaran pajak, di tempat pencairan bantuan sosial, di laut, di penangkaran lobster, di hotel dan masih banyak tempat-tempat lainnya.

Seraya doa yang terlantun dari para alim, dengan sebisa para awam (seperti saya) yang mengamini dengan khusyuk dan jadi juru parkir dijalanan, berteman panas terik tak peduli penampilan, sambil mengambil pelajaran yang berserakan dan berceceran. Semoga para orangtua, guru bangsa, tokoh masyarakat masih gerah melihat ketidakadilan dan kesengsaraan sesama.

Emosi +

Pada 30 maret

Sepertinya kita suka lupa, apa yang kemaren dilewatkan. Hanya terlewat atau terkesan cerita saja! maka ‘kita’ ada untuk saling mengingatkan, bukan mengingkarkan. Maka ‘kita’ ada untuk saling membangkitkan, bukan menjatuhkan. Maka ‘kita’ ada untuk saling memberi, bukan malah menyakiti. Maka ‘kita’ ada untuk saling menyayangi, bukan mencaci-maki. Maka ‘kita’ ada.. Maka ‘kita’ ada bukan saling meniadakan. Maka diposisi itu ‘kita’ ada. Hari ini, esok dan entah sampai kapan akhirnya.

 

Tanah dan air mata. M.P.E: 03/19

Terkubur

Part II

Pagi itu setelah Rafsa termenung membuat pemakaman mimpinya, ia ditampar oleh cita-citanya sendiri. Waktu memaksanya untuk terus hidup walau mimpinya sudah terkubur di benda berwarna violet diatas mejanya bersama tangisan dan renungan yang dijadikan nya makam untuk mimpinya.

Semalam itu tindakan paling egois yang ia lakukan, mimpi bersama dengan para sahabatnya telah damai bersama kenangan dipemakaman renungannya. Individualistik adalah musuh bagi kehidupan berkelompok, akan tetapi individu yang membuat hidup itu berkelompok. Pada waktu akhirnya Rafsa memohon untuk diberi kesempatan kembali menebus keegoisan yang ia buat semalam.

Cita-citanya akhirnya kembali bersama semangat nya yang utuh, ia membuat mimbar bebas imajinasinya dengan berdalil “Bahwa aku tak akan pernah membiarkan kau (cita-citanya) hanya menjadi induktif (rasiaonal) dalam logika saja, akan aku deduktif (empirik) kan ia dengan segala daya dan upaya yang tersisa.

 

 

Emosi Berdera.

2k18 > 2k19

Tentang Rumah, Keluarga & Kopi

Desember bulan dipenghujung tahun, penutup dari akan datang nya tahun yang baru dan januari dengan harapan. Menyudahi adalah hal yang memilukan dan menyenangkan, kenapa? Lho kok malah memilukan? Karena yang tinggal akan pergi, yang dialami akan terkenang, yang terkenang akan terlupakan dan akan terbuang. Terbuang setelah terproses atau terbuang dengan utuh. Menyenangkan? Lho kok? Mengapa demikian? Tak ada satu orang pun yang rela hidup dalam suatu tempat yang membuatnya menderita, kering, sakit dan mati secara perlahan. Dan tak ada satu tempat pun di dunia yang demikian, kalau dalam diri seseorang itu tak terpenjara secara pemikiran dan perbuatan. Senang bisa menyudahi hal-hal yang di anggap sebagai sebab dari apa yang dirasa sakit, padahal dari kesakitan itu banyak hikmah yang bisa kita ambil dan akan datang kembali kesakitan-kesakitan yang lain, dengan kadar yang lebih banyak atau lebih sedikit. Itu semua akan menguji kita agar selalu lebih baik dalam meningkatkan hakikat kita sebagai manusia. Pada tahun di lingkar kalender yang akan tergantikan, entah berapa banyak keringat dan air mata keluar yang di setiap tetes nya ada harapan dan doa yang terwujud atau hilang bersamanya. Akan tetapi, Perkembangan zaman membuat pergaulan tidak seakrab dahulu, dimana secangkir kopi bisa mencairkan dan menyatukannya pada setiap adukan yang larut oleh air mendidih dengan temperatur yang terlatih di sore hari di teras rumah sampai ditengah sawah, atau bercengkrama bersama malam dengan kasih saling mengingatkan, berbalas petuah dan berkhias pada suatu kisah. Hingga Keluarga itu Besar.

Namun tulisan yang akan dilupakan dan tak berarti apa-apa ini “Tentang Rumah” yang pada makna nya tetap ikhlas dan tak akan pernah kemana-mana bila dalam bentuk dan letak nya tidak berpindah atau tergusur, akibat adanya pembangunan sarana prasana fasilitas umum atau oleh pihak swasta yang membangun perusahaan yang bukan pada tempatnya. Akan tetapi Rumah yang sebenarnya ada disini, dimana tak akan pernah berubah dalam bentuk dan tergusur oleh kepentingan, surut oleh waktu dan runtuh oleh masa. Rumah itu letaknya didalam (hati) yang tak terjama oleh debu sedikit pun, ia akan terawat dan terpelihara dengan baik, sebaik-baiknya kita menjaga hati. Rumah yang dibangun atas dasar kecintaannya pada keluarga.
Dan “Tentang Keluarga”, dimana Rumah itu adalah tempat tinggal yang paling aman dan nyaman dari huru-hara penghuni dunia yang sudah mulai kurang ramah dan mudah marah. Keluarga ialah kumpulan kasih sayang tulus yang dimana ada berbagai kehangatan dan suplemen kehidupan yang menyerupai sosok wanita hebat yang sering kita memanggilnya Ibu, dan sosok lelaki gagah perkasa yang tegak berdiri kokoh membelai pipi kita dengan tangan yang kasar dengan belaian kasih yang sering ia lakukan saat kita tertidur lelap sewaktu kecil setelah ia pulang lembur kerja. Keluarga layak nya saung di tengah sawah padi yang terhampar di pagi hari bersama burung yang riang bersuil dan terbang kesana kemari. Ia itu bukan saung nya akan tetapi suasana nya, ia bukan sawahnya akan tetapi hempasan udara nya, ia bukan suilan burungnya akan tetapi ia iramanya, dan ia bukan sayapnya akan tetapi kepakan dan keseimbangan nya.

Lalu Kopi, tawaran pertama kala kita bercengkrama dan bersahaja dengan saudara-saudara kita di perdesa sampai perkotaan. Dari arabika sampai robusta, dari kopi amerika sampai kopi wamena. Akan tetapi kopi ‘Tubruk’ yang cocok untuk menikmati pagi hingga malam menanti pagi lagi, sambil bertukar cerita dalam akrabnya suasana bersama. Kopi akan selalu ada dalam ruangan kantoran hingga ditempat emperan, melarutkan persoalan dari persekongkolan sampai kesalahpahaman. Cerita kopi kemarin akan menjadi aroma yang tak pernah hilang pada ruang-ruang kopi selanjutnya, dan akan begitu seterusnya.

Begitulah kisah yang termaktub dipenghujung tahun tentang ‘Rumah, Keluarga dan Kopi’ yang akan selalu berotasi dan berevolusi setiap paginya.

Terima kasihku pada Atap, Rengkuhan dan Kepahitan.

Terkubur..

Part I

Pohon tak kemudin mati, kering dan rapuh. Daunnya yang rindang pun memberitahu bahwa pohon itu sedang hidup dan tumbuh. Entah seberapa lama… Rafsa tahu itu!

Ia bertanya.. Kawanan mengapa serigala pun tak kunjung terlihat? Apa masih dikandangi oleh tuan nya… Ia kadang mendengar gaungannya saja, pada sepertiga pagi… Disaat aktifitas kota sedang berada di kondisi letih. Akhir-akhir ini ia sulit sekali untuk bertuan pada pikiran, ingin terfokus bukan hanya pada benda yang sukar melewati usus.. Memang Rafsa selalu bertanya.

Tapi kini, Timbunan imajinasi nya seakan menggali kuburannya sendiri.. Ia menempati semua ruang disegala bentuk jurang pada otak yang dibuat tegang, hinga saraf banyak terangsang. Karena, filantropis mungkin sudah mulai menjadi dongeng saja…

Rafsa tercengang!!! pagi hari ia melihat mimpinya akan terkubur dalam sela senja menjelang petang… Ia lalu berlari, tanpa ingin mengingat sudah sejauh dan selama apa… Sampai mulai hari ini, ia mulai berdamai dengan ingatan dan kembali bertemu petang.

Sekarang bukan lagi senja yang bertumpukan dimeja belajarnya, namun arwah imajinasinya yang tersimpan dikotak rahasia berwarna violet didekat meja belajarnya.

Rafsa menangis, menghentikan tangisan nya. Lalu ia terkubur dalam kuburan imajinasinya sendiri.

 

 

 

“emosi berdera… 13/11

Bandung, 2.54 WIB

Malam selalu menjadi waktu yang di gemari para pengadu, apa hanya aku saja?

Satu adalah angka awal yang terbilang, kosong = Tidak ada. Angka awal yang bisa mengakhiri, menghentikan seketika tawa jadi duka, luka jadi cinta dan resah jadi sumringah.

Aku jadi suka bernyanyi akhir-akhir ini, hingga lagu ‘Gugur bunga’ terlantun tanpa bersuara dari senar biola, namun terdengar jelas di telinga. Aku tulis bait-bait nestapa dalam ratap kegelisahan kedatangan gagak hitam, atau sirene ambulan yang terngiang. Semoga alam selanjutnya itu akan jauh lebih baik dari alam dunia saat ini.

For youre Brother..